Kenangan Bersama Ustadz Al Hafid Ibnu Qayyim, M. Th.I
Oleh: Abdun Nuur Razaqi
Alumni 2020
Selama saya berinteraksi dengan beliau, banyak kenangan yang meninggalkan kesan dan memberikan makna yang mendalam bagi saya. Waktu begitu cepat berlalu, dan beliau lebih dulu dipanggil kembali menuju rahmat Allah.
Dengan menumpahkan semangat dan air mata, saya paksa diri saya untuk menulis sebagai bentuk meneladani semangat perjuangan beliau dan para guru kami di Persatuan Islam, walaupun tidak sebanding.
Kenangan Pertama dihubungi beliau
Pada tanggal 22 Mei 2018, saya menerima pesan melalui messenger. Beliau mengirimkan informasi tentang pendaftaran Leadership Basic Training yang diadakan oleh Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia Kalimantan Timur. PII adalah organisasi massa pelajar tertua di Indonesia. "Kalau bisa, ikuti pelatihan ini ... sekalian mengisi liburan ...", tulis Ustadz Qayyim.
Arahan beliau yang singkat ini membuka tabir pemaknaan yang dalam dan berdampak bagi saya tentang berorganisasi, membangun jaringan, melobi, audiensi, serta menguatkan ilmu yang sudah saya dapat saat kelas 3 tsanawiyyah di pesantren setelah mengikuti training atas saran beliau. Saat itu, Kortimnya adalah Kanda Fadil Hidayatul Fajri, dan instrukturnya Kanda Muhammad Suryadi.
Kenangan Ketika Berkunjung ke Pesantren Persatuan Islam
Suatu hari, Ustadz Qayyim berkunjung ke pesantren, dan saya dipanggil untuk menyiapkan tali agar beliau dapat mengikat barang bawaannya untuk dibawa pulang ke Samarinda. Tentu ini adalah kesempatan yang menyenangkan bagi saya. Dari sini saya belajar bagaimana cara mengikat barang dengan tali agar aman saat perjalanan jauh.
Sebelum pulang, Ustadz minta diambilkan air pet yang khas dari pesantren untuk dibawa pulang dan diberikan kepada keluarganya. "Keluarga saya suka dibawakan oleh-oleh air pet dari pesantren," kata beliau.
Air pet yang diminum santri di pesantren memang jernih dan segar. Sampai Ustadz Wildan Shalihy Rahimahullah mengatakan: "Banyak orang hebat minum dari situ (air pet)."
Air dari mata air segar yang dialirkan ke pesantren dan diminum oleh santri secara turun-temurun menguatkan makna keberkahan di dalamnya.
Kenangan saat Bersilaturahim di Samarinda
Pada tahun 2021, satu tahun setelah lulus dan satu tahun sebelum menikah, saya bersilaturahim ke Kampus Widyagama Kota Samarinda, tempat beliau mengajar. Kami berbincang di taman yang teduh di tengah kampus. Dalam pertemuan itu, beliau menanyakan perkembangan dakwah di Tarakan, Kalimantan Utara, beliau menceritakan perjalanan hidupnya semasa menuntut ilmu di pesantren dan setelah pesantren. Beliau juga menyampaikan saat liburan pesantren pernah diajak ustadz Wildan Shalihy ke rumah beliau di Madiun. Qaddarullah saya juga menceritakan hal yang sama bahwa di tahun 2019 saya pernah diajak ustadz Wildan safar ke beberapa daerah, salah satunya ke madiun dan bertemu ibunda ustadz Wildan di rumahnya. Tidak lupa saya juga meminta nasihat tentang pernikahan dan lembaga pendidikan. "Kalau kita memiliki kenalan orang shalih, maka kita jangan malu-malu merekomendasikan kepada keluarga kita, bahkan kita yang harus mengejar-ngejar orang tersebut agar mau menjadi bagian dari keluarga kita," "Silakan jika ingin membangun lembaga pendidikan," pesan beliau.
Setelah itu, beliau dengan ramah membonceng saya ke rumahnya di Garden Hills, Samarinda. Saya menunggu di samping rumah beliau. Sore hari itu, kami berbincang di teras rumah. Beliau menyampaikan satu nasihat berharga dari ayahanda beliau: "Seekor burung di tangan lebih baik daripada sepuluh burung di langit."
Ustadz Qayyim menyampaikan agar lebih fokus bersyukur dan mengembangkan potensi dengan apa yang diberikan oleh Allah, sekaligus berjuang dengan apa yang ada, dan jangan membuang-buang kesempatan dengan hal-hal di luar diri kita.
Beliau melanjutkan dengan nasihat akan pentingnya kegigihan dalam berjuang. Beliau berkata, "Berjuanglah walau dengan merangkak." Pesan ini mengingatkan saya bahwa di dalam perjuangan, sekecil apapun langkah kita, tetap memiliki nilai. Bahkan jika langkah kita tak bisa secepat yang kita inginkan, tidak ada alasan untuk menyerah. Tanamkanlah Kegigihan dalam menghadapi setiap tantangan kehidupan.
Di tengah percakapan, seorang tetangga datang menghampiri. Dengan sedikit ragu, tetangga itu bertanya kepada Ustadz, "Ini anaknya, Ustadz? Kok kelihatan kembar?"
Saya ingat betul senyum khas yang terukir di wajah Ustadz Qayyim saat menjawab, "Ini sahabat saya." Jawaban beliau sederhana, tetapi mengena. Saya, yang saat itu baru berusia 19 tahun, sangat tersentuh dengan cara Ustadz memposisikan saya setara sahabat.
Dalam tradisi keilmuan di Bangil hingga saat ini, makna egaliter antara guru dengan murid dapat berjalan dengan kesopanan tinggi terhadap guru dan ilmu. lagi-lagi saya mendapatkan penguatan dari teladan dan jawaban Ustadz Qayyim yang mencerminkan kearifan, kebijaksanaan dan kelembutan beliau dalam menghargai orang lain, betapapun jauh perbedaan usia dan kedudukan di antara kami.
Ini bentuk pengasuhan yang berharga bagi saya, di mana Ustadz Qayyim menunjukkan bahwa kebaikan dan akhlak mulia bukan hanya ditunjukkan dalam ceramah-ceramah, tetapi dalam tindakan dan sikap sehari-hari.
Tidak lama setelah itu, sebelum saya pamit undur diri, Ustadz Qayyim mengajak saya berfoto bersama. Sebagai seorang santri yang baru lulus pesantren, saya merasa malu sekaligus canggung. Sehingga ketika hendak berfoto, saya duduk dengan badan sedikit membungkuk karena tidak tahu bagaimana sebaiknya gaya berfoto bersama beliau. Namun, dengan lembut, beliau menegur, "Kalau berfoto itu jangan membungkuk. Luruskan, tegakkan sedikit badannya." (sambil beliau memberi contoh). Kemudian saya diberi ongkos pulang.
Ustadz Qayyim memberikan ilmu melalui keteladanan dengan cara yang menakjubkan, bahkan dalam kesempatan sederhana ketika berfoto bersama. Maa Syaa Allah.
Kenangan saat Menikah di Tarakan
Sabtu, 5 Februari 2022 Akad nikah saya dibimbing oleh Ustadz Qayyim. Sebelum akad berlangsung, beliau menjelaskan lafadz-lafadz dan peristiwa yang ada dalam hadits saat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahkan para sahabat. Kemudian beliau membimbing ijab dan qabul dengan Bahasa Arab.
Di antara pelajaran-pelajaran yang beliau sampaikan selama di Tarakan adalah tentang parenting keluarga, doa untuk keturunan yang shalih, pendidikan anak, teknik persalinan secara mandiri baik pra, proses hingga pasca sebagaimana ilmu dari ibunda beliau yang juga diterapkan di keluarga beliau, ramuan-ramuan herbal untuk tubuh, minum kopi dengan gula merah, dan tentu masih banyak lagi pesan beliau.
Interaksi kami dalam waktu yang singkat melahirkan pesan-pesan bermakna sangat mendalam dan berdampak dalam kehidupan. Saya menyaksikan bagaimana Ustadz Qayyim berintegritas dengan kelembutan dan keteladanannya. Setiap nasihatnya, baik dalam kata-kata maupun perbuatan, selalu memberikan rasa aman, damai dan kebersahajaan yang sangat melapangkan.
Satu per satu ulama’ yang menjadi Cahaya istiqamah dalam dakwah di Kalimantan Timur Kembali ke Rahmat Allah.
Ustadz Qayyim, engkau telah pergi mendahului kami, namun ilmu dan amal sholeh engkau akan selalu menjadi inspirasi bagi kami.
Semoga Allah Ta'ala menerima segala amal ibadah engkau dan menempatkan engkau di sisi-Nya dalam surga yang penuh kenikmatan. Aamiin.